Rumah di pojok jalan itu masih terang
benderang meski tak menunjukkan keceriaan dan gelak tawa. Namun, dalam sekejap,
rumah peninggalan londo itu --demikian orang menyebutnya-- kehilangan tanda-tanda
kehidupan.
Rumah di pojok itu tidak seperti rumah-rumah lain yang merayakan Natal . Riang. Hiruk
pikuk. Penuh dengan lagu puji-pujian. Penuh dengan kembang api. Rumah itu
seperti tahan napas.
Tak keliru lagu "malam kudus, sunyi senyap" pas sekali dilekatkan
pada rumah di pojok jalan itu. Rumah ini begitu sunyi. Begitu senyap.
Rumah itu milik Meriam Breda, janda berusia 70 tahunan.
*
Sehari sebelum Natal
tiba, Meriam Breda diizinkan pulang oleh dokter yang mengoperasi dan merawatnya
di rumah sakit. Kata dokter, operasi tumor seminggu lalu berjalan dengan baik
dan Meriam Breda "lebih baik beristirahat di rumah saja".
Keempat putri Meriam Breda menganggap kepulangan ibu mereka ke rumah sebagai
berkah dari surga. Keempat menantu pun menganggapnya demikian.
*
Kehadiran Meriam Breda disambut dengan sukacita oleh keluarga dan handai tolan.
"Puji Tuhan," kata putri pertama,
"Ibu pulang menjelang Natal ."
"Ini rahmat bagi kita semua," ujar
putri kedua, "Ibu bisa natalan dengan kita di rumah."
"Ini hadiah paling istimewa bagi
kita," kata putri ketiga. "Syukur kepada Tuhan ...."
"Syukurlah, kita bisa berkumpul lagi
pada hari Natal
tahun ini," ujar anak keempat. "Mudah-mudahan ini bukan yang terakhir
...."
"Gusti Allah memang baik," ujar
pembantu rumah tangga Meriam Breda. "Nyonya bisa natalan di rumah."
*
Ketika masih balita, Meriam Breda sering membayangkan betapa asyiknya bermalam Natal di surga. Meriam
Breda berulang kali mengatakan pada kedua orang tuanya, "Aku ingin natalan
di surga."
Sang ibu bingung dengan hasrat putrinya yang tak masuk akal itu.
"Bagaimana mungkin, Mer? Surga itu jauh dari sini, Nak"
Karena Meriam Breda terus bertanya ini dan itu ("Seberapa jauh Bu dari
rumah kita?" atau "Harus naik apa Bu ke surga" atau "Berapa
lama perjalanan ke surga, Bu?"), ujung-ujungnya si ibu menghardik,
"Hus! Nggak usah nanya macam-macamlah, Ibu lagi sibuk."
Berbeda dengan sang ibu, ayah Meriam Breda sangat bijak menanggapi keinginan
putrinya.
"Kenapa kamu ingin natalan di surga, Mer?"
"Karena di surga enak, Pak. Ada kolam
susu. Ada
salju. Ada
coklat. Ada Santa Klaus yang bagi-bagi hadiah dengan kereta kencana. Ada boneka yang
lucu-lucu. Banyak mainan. Pokoknya, asyiklah Pak ...."
"Siapa yang bilang begitu?"
"Guru Sekolah Minggu."
Terkadang sang ayah kagum akan imajinasi putrinya. Bisa-bisanya dia
membayangkan surga itu seperti apa. Orang dewasa saja sering sulit men-
citrakan surga itu seperti apa!
*
Ketika menginjak remaja, Meriam Breda masih terus mengumandangkan hasratnya
untuk "natalan di surga" itu. Lebih-lebih menjelang Natal . Kepada sahabat-sahabatnya, Meriam
Breda selalu mengatakan bahwa ia ingin sekali merayakan Natal di surga. Sahabat- sahabatnya hanya
menyilangkan jari telunjuk kiri atau kanan ke dahi. Kepada gurunya, Mer juga
berkata, "Kalau ada kesempatan aku ingin natalan di surga". Sang guru
hanya geleng-geleng kepala, pertanda tak paham makna kata-kata muridnya.
Ketika lebih dewasa lagi dan men- jadi mahasiswi pada sebuah perguruan tinggi,
Meriam Breda selalu mengatakan keinginannya itu pada pacar-pacarnya.
Pacar pertamanya serta-merta memutuskan hubungan mendengar keinginan Meriam
Breda yang tak rasional itu.
"Gila kamu," ujar sang pacar.
Meriam Breda bingung mengapa pacarnya itu minta putus. Namun, Meriam Breda
tidak peduli dan tidak ambil pusing. Memangnya laki-laki cuma dia sendiri?
Segitu banyak lelaki di muka bumi ini!
Pacar keduanya geleng-geleng kepala dan menganggap Mer edan.
"Edan kamu!" sergah sang pacar. "Memangnya surga itu bisa
dicapai dengan pesawat terbang atau taksi atau kereta api eksekutif? Dengan
pesawat luar angkasa saja tak bisa!"
Kini giliran Meriam Breda yang tak habis pikir. Lha, memangnya keinginan itu
aneh? Apa salahnya orang bercita- cita merayakan Natal di surga?
Hanya pacar ketiganya yang mau mengerti perasaan Meriam Breda.
"Ya, nantilah kalau saatnya tiba," ujar sang pacar.
Pacar ketiganya inilah kemudian yang menjadi suami Meriam Breda. Dari
pernikahan itu, Meriam Breda dikaruniai empat putri. Semuanya telah berumah
tangga dan tinggal sekota dengan Meriam Breda.
*
Setiap malam Natal ,
keempat anak, menantu, serta cucu-cucu berkumpul di rumah Meriam Breda untuk
berdoa bersama. Begitulah kebiasaan Meriam Breda pada malam Natal , baik ketika suaminya masih hidup
maupun setelah meninggal. Kebiasaan itu pun berubah hingga kini.
Aneka macam doa telah dipanjatkan setiap tahun. Ada yang ingin punya rumah sendiri agar tidak
perlu ngontrak terus-menerus. Ada
yang ingin punya mobil baru karena mobil lama sering ngadat. Ada yang ingin berziarah ke Betlehem dan Jerusalem . Ada yang ingin ke Lourdes sebelum mati. Ada yang ingin
mendapatkan anak laki-laki. Ada
yang ingin mendapat anak perempuan. Bahkan, ada yang ingin mencium tangan Sri
Paus di Vatikan.
*
Sehabis merayakan Natal
di gereja terdekat, Meriam Breda meminta keempat putrinya berkumpul di rumah
pojok. Tanpa diminta pun, sesungguhnya putri-putri Meriam Breda akan berkumpul
secara otomatis. Lengkap dengan suami dan anak-anak mereka. Itu sudah berjalan
bertahun-tahun. Entah kenapa, kali ini Meriam Breda meminta secara khusus.
"Tak usah bawa bingkisan Natal
segala," pesan Meriam Breda melalui telepon. "Kalian datang saja aku
sudah senang, kok. Sungguh."
Meriam Breda sendiri tak ke gereja kali ini. "Aku ingin di rumah
saja," ujarnya kepada keempat putrinya.
Perayaan Natal kali ini memang agak istimewa bagi Meriam Breda dan
putri-putrinya. Selain merayakan dan mensyukuri kesembuhan Meriam Breda,
sekaligus merayakan hari ulang tahunnya ke-75 yang jatuh tanggal 24 Desember.
*
Doa-doa pun dipanjatkan ke surga secara bergantian dan beruntun.
"Bagi ibu kami yang baru pulang dari rumah sakit, berilah dia kesehatan
yang prima," doa putri pertama. "Agar dia dapat membimbing kami pada
tahun-tahun mendatang."
Doa putri kedua, "Bagi ibu yang baru sembuh dari sakit, berilah dia
kearifan agar kami turunannya juga bisa hidup secara arif."
"Bagi ibu kami yang baru sembuh dari operasi, berilah dia umur
panjang," doa putri ketiga. "Agar dia bisa menyertai kami lebih
lama."
Doa putri keempat, "Bagi ibu kami yang baru kembali dan selalu ingin
natalan di surga, kabulkanlah keinginannya, ya Bapa ..."
Seluruh keluarga Meriam Breda pun berucap serentak, "Kabulkanlah doa kami,
ya Bapa ..."
Sementara itu, di televisi, di radio, dan di mana-mana di seluruh jagat masih
berkumandang lagu "Malam kudus, sunyi senyap".
Beberapa detik berselang, seisi rumah pun membuka mata secara perlahan-lahan.
Beberapa detik kemudian, seisi rumah masih berdiri di tempat masing-masing.
Bergeming.
Sunyi.
Sepi.
Entah dikomando oleh siapa, semua mata tertuju pada Meriam Breda.
*
Rumah di pojok jalan itu masih terang benderang, namun tak menunjukkan suasana
hiruk pikuk. Bahkan tak terdengar sepotong kata pun.
Semua mata tertumbuk pada Meriam Breda yang duduk dengan tenang di sofa. Senyum
dingin tersungging di bibirnya meski matanya tak juga terbuka setelah sekian
detik, bahkan setelah sekian menit ....
Tiba-tiba ada sesuatu yang menyesakkan dada seisi rumah. Namun, hanya beberapa
detik, untuk kemudian pecah dengan teriakan dan tangisan histeris.
Dari gereja yang berjarak lima
puluh meter masih terdengar alunan lagu Stille Nacht, heilige Nacht ....
Tubuh Meriam Breda tetap bergeming dan
semakin dingin.***